Selasa, 31 Januari 2017

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Pajak di Indonesia


1. Awal Mula Timbulnya Pajak

            Pada awalnya, pajak merupakan pemberian sukarela dari rakyat kepada rajanya. Bentuknya berupa padi, ternak, atau hasl tanaman lain, misalnya kelapa, pisang, dan lain-lain. Semua pemberian rakyat tersebut ditujukan untuk kepentingan raja. Jadi, bukan merupakan paksaan dan kewajiban masyarakat kepada negara seperti saat ini. Pajak mulai menjadi pungutan sejak jaman Romawi, yaitu pada awal Republik Roma (tahun 509-27 SM). Pada saat itu, dikenal beberapa jenis pungutan pajak, seperti censor, questor, dan beberapa jenis pungutan lain. Perpajakan di Indonesia sudah dimulai sejak Belanda masuk ke Indonesia, terutama setelah berdirnya VOC, berupa upeti ataupun kerja paksa.

2. Pengenaan Pajak di Indonesia pada Zaman Penjajahan

            Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Pengenaan pajak terhadap tanah atau sesuatu yang berkaitan dengan tanah sudah ada sejak zaman kolonial, seperti Cintingentern dan  Verplichte Leverantien atau lebih dikenal dengan tanam paksa yang menimbulkan Perang Jawa pada tahun 1825-1830. Gubernur Jendral Raffles menyebut pajak atas tanah tersebut sebagai Lnantante dalam bahasa Belanda, yang artinya sewa tanah.
            Pada Zaman penjajahan Jepang, istilah Lnantante (sewa tanah) diganti menjadi pajak tanah, dan setelah Indonesia merdeka namanya diganti menjadi Pajak Bumi, kemudian diganti kembali menjadi Pajak Hasil Bumi.
            Sebelum dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983, sebagian peraturan perpajakan yang berlaku di Indonesia masih merupakan produk hukum masa penjajahan dan dilakukan penyesuaian seperlunya oleh para pendiri negeri ini setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Beberapa golongan pajak sebelum dilakukan reformasi perpajakan di Indonesia, adalah sebagai berikut.

a. Pajak bidang pendapatan/keuntungan
            Jenis pajak di bidang pendapatan/keuntungan, antara lain :
1) Pajak Pendapatan;
2) Pajak Perseroan;
3) Pajak Deviden;
4) Pajak Undian;
5) Pajak Upah.

b. Pajak bidang kekayaan/harta
            Jenis pajak di bidang kekayaan / harta, antara lain :
1) Pajak Kekayaan;
2) Pajak Kendaraan Bermotor;
3) Pajak Rumah Tangga;
4) Verponding;
5) Pajak Radio;
6) Pajak Hasil Bumi, dan lain-lain.

c. Pajak terkait dengan perbuatan atau keadaan
            Jenis pajak berkaitan dengan perbuatan atau keadaan, antara lain :
1) Pajak Penjualan;
2) Pajak Pembangunan;
3) Bea Cukai;
4) Bea Balik Nama Tanah;
5) Bea Balik Nama Kedaraan Bermotor;
6) Pajak Bangsa Asing.

3. Reformasi Perpajakan di Indonesia

a. Makna Reformasi Pajak
            Reformasi pajak menjadi tema yang semakin menarik saat ini. Langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan dimulai dengan melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1983, dan sejak saat itulah Indonesia menganut sistem self assesment. Penerapan self assesment system akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela
( voluntary compliance ) pada masyarakat telah terbentuk. Williamson
( Mas’oed, 1994 ) menyatakan bahwa reformasi perpajakan meliputi perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi pajak, penegasan regulasi untuk mengurangi terjadinya penghindaran dan penggelapan pajak, serta mengatur pengenaan pada aset yang berada di luar negeri.

b. Sejarah Reformasi Perpajakan di Indonesia
            Reformasi perpajakan adalah perubahan mendasar dalam segala aspek perpajakan. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Reformasi tersebut dilakukan dengan memerhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat, seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity), dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kapasitas fiskal, tetapi juga terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro.

c. Jenis Pajak Setelah Reformasi Perpajakan
            Setelah dilakukan reformasi perpajakan pada tahun 1983 muncul berbagai jenis pajak. Para ahli sesuai dengan keahlian dan persepsinya banyak menggolongkan jenis perpajakan pada beberapa golongan berdasarkan sudut pandang masing-masing.

            Adapun jenis-jenis pajak adalah sebagai berikut.
1) Berdasarkan Golongannya
            Pembagian pajak berdasarkan golongan ini berkaitan dengan pelaksanaan pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap wajib pajak. Masalah utama pada penggolongan di sini adalah perubahan atas pajak terutang. Pajak ini terbagi atas :

a)     Pajak Langsung, yaitu pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan kepada siapa pun. Pajak ini dipungut secara periodik atau berkala. Contoh: Pajak Penghasilan (PPh). PPh ditanggung oleh pihak-pihak yang memperoleh penghasilan.
b)    Pajak tidak langsung. Pajak ini dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Pajak ini dipungut secara insidentil, yaitu saat terjadi kejadian yang ditentukan oleh undang-undang. Contoh: Pajak Pertamabahan Nilai (PPN). PPN dipungut karena tedapat pertambahan nilai terhadap barang atau jasa kena pajak.

2). Berdasarkan Wewenang/Lembaga Pemungut Pajak
            Pajak ini terbagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Dengan merujuk pada rasa keadilan dalam memperoleh pendapatan pada masing-masing tingkat hierarki inilah maka terjadi perbedaan wewenang atau lembaga pemungut pajak. Setiap tingkatan pemerintahan hanya dapat menjadi kewenangannya dan tidak boleh memungut pajak diluar kewenangannya agar tidak terjadi tumpang tindih dan pajak ganda setiap pelaksanaan kewajiban pajak. Pajak ini terbagi atas :

a)     Pajak Pusat
Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah pusat beradasarkan Undang-undang yang kewenangan memungutnya adalah pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan). Hasil pemungutan dialokasikan dalam anggaran negara yang dibuat pemerintah pusat yang digunakan untuk pembiayaan rumah tangga negara dan kesejahteraan rakyat.
            Pajak pusat di Indonesia, antara lain:
(1) Pajak Penghasilan (PPh);
(2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
(3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
(4) Bea Materai;
(5) Bea Masuk, Pajak Ekspor dan Cukai.

b)    Pajak Daerah  
Pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah (Perda) dan dipungut oleh aparatur pemerintah daerah untuk dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah untuk membiayai rumah tangga daerah.
            Hierarki pemerintah daerah di Indonesia dibagi menjadi dua bagian karena masing-masing memiliki otonomi daerah sendiri, sehingga pajak daerah juga dibagi menjadi dua bagian:

(1) Pajak Provinsi yang terdiri atas:
a)     Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b)    Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c)     Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d)    Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
(2) Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a)     Pajak Hotel;
b)    Pajak Restoran;
c)     Pajak Hiburan;
d)    Pajak Reklame;
e)     Pajak Penerangan Jalan;
f)      Pajak Pengambilan Galian Golongan C (asbes, batu tulis, kasit, kaolin, talk, prospat, dan lain-lain);
g)     Pajak Parkir.

3) Berdasarkan Sifatnya
            Berdasarkan sifatnya, pajak meliputi:
(a)  Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memerhatikan kondisi keadaan wajib pajak sehingga penentuan besarnya pajak harus didasarkan pada alasan-alasan objektif yang berhubungan dengan kemampuan jenis pajak. Pajak subjektif berpangkal pada subjek pajak selanjutnya dicari syarat-syarat objektifnya. Ini artinya yang pertama diperhatikan adalah kondisi/keadaan wajib pajak. Contoh: Dalam memotong pajak penghasilan negara harus memerhatikan subjek pajak, misalnya status perkawinan, banyaknya jiwa yang menjadi tanggungannya termasuk dalam Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

(b) Pajak Objektif, yaitu pajak yang pemungutannya berpangkal pada objeknya, baik berupa benda, keadaan, perbuatan, maupun peristiwa yang terjadi dalam wilayah negara. Besarnya pajak terutang didasarkan pada nilai objek pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak dan tidak dilihat dari kemampuan ekonomis wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) ditetapkan berdasarkan banyaknya konsumsi barang atau jasa kena pajak. Dalam penerapan pajak objektif ini tidak diperhatikan kemampuan dan kelas ekonomi wajib pajak.


Created By :
Muhammad Fadhilah ( Bang Fadhil )

2 komentar: