Sabtu, 22 April 2017

Hukum Pajak di Indonesia


A. Konsep Dasar Hukum Pajak
Pajak  merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Akan tetapi, negara sering mengalami kesulitan untuk melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak. Untuk itu, pemerintah memberikan kelonggaran dengan memberikan perngatan melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Sekalipun demikian, banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak, bahkan menghindari kewajiban tersebut.
Saat ini, penyelesaian persamalahan sengketa di bidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak, yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Keberadaan Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan karena objek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

1. Pengertian Hukum Pajak  
            Menurut Rochmat Soemitro (1992), hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Pendapat senada juga dikemukakan Bohari (1995) bahwa hukum pajak adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebaga pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak. Beberapa hal yang diatur dalam hukum pajak.
a. subjek pajak dan wajib pajak;
b. objek pajak;
c. kewajiban pajak terhadap pemerintah;
d. timbul dan hapusnya utang pajak;
e. cara penagihan pajak;
f. cara mengajukan keberatan dan banding.

2. Kedudukan Hukum Pajak
            Menurut Rochmat Soemitro (1992), hukum pajak mempunyai kedudukan di antara hukum-hukum berikut.
a. Hukum Perdata, yaitu ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan individu dalam masyarakat.
b. Hukum Publik, yaitu hukum yan mengatur hubungan pemerintah dengan rakyatnya. Hukum publik terdiri atas:
1)    hukum tata negara;
2)    hukum tata usaha;
3)    hukum pidana;
4)    hukum pajak.
Dengan demikian, kedudukan hukum pajak bagian dari huku publik.

3. Fungsi Hukum Pajak
            Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi negara, yaitu sebagai berikut:

a. menyejahterakan dan memakmurkan masyarakat; negara yang sukses dan maju adalah negara yang dapat membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan;
b. melaksanakan ketertiban; untuk menciptakan suasana dan lingkungan yang kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat;
c. pertahanan dan keamanan; negara harus memberikan rasa aman serta menjaga dari segala ancaman dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupu luar;
d. menegakkan keadilan; negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan di segala bidang.
            Untuk menjalankan fungsi tersebut, negara membutuhkan biaya yang jumlahnya besar dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap warga negara yang dinilai mampu memberikan sumbangsih, yang kemudian dikenal sebagai pajak.

B. Sejarah dan Perubahan Hukum Pajak
            Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perkembangan masyarakat dan negara, baik pada bidang kenegaraan maupun bidang sosial dan ekonomi. Pada awalnya pajak bukan merupakan pemungutan, melainkan pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam memelihara kepentingan negara, seperti menjaga kepentingan negara terhadap serangan musuh dari luar, membuat jalan umum, membiayai pegawai kerajaan, dan sebagainya.
            Penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura diwajibkan melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum selama beberapa hari dalam satu tahun. Adapun orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari kewajiban melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, dengan cara membayar uang ganti rugi.
            Besarnya pembayaran ganti rugi ditetapkan sesuai dengan jumlahuang yang diperlukan untuk membayar orang yang menggantikan melakukan pekerjaan itu, yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status sosial yang tinggi.

1. Pemungutan Pajak Harus Adil
            Seperti halnya produk, hukum pajak pun mempunyai tujuan untuk menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak, baik dalam perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaanya. Contohnya:
a. mengatur hak kewajiban para wajib pajak;
b. pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak;
c. sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran.

2. Pengaturan Pajak Harus Berdasarkan UU
            Sesuai dengan pasal 23 UUD 1945, “Pajak dan pungutan yang bersifat untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang”, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyususnan UU tentang pajak, yaitu:
a. pemungutan pajak untuk dilakukan oleh negara yang berdasarkan UU tersebut harus dijamin kelancarannya;
b. jaminan hukum bagi para wajib pajak untuk tidak diperlakukan secara umum;
c. jaminan hukum akan terjaganya kerahasiaan bagi para wajib pajak.

3. Pungutan Pajak Tidak Mengangu Perekonomian
            Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi, perdagangan maupun jasa. Pemungutan pajak tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat dan menghambat lajunya usaha masyarakat pemasok pajak, terutama masyarakat kecil dan menengah.

4. Pemungutan Pajak Harus Efisien
            Biaya yang dikeluarkan dalam pemungutan pajak harus diperhitungkan agar pajak yang diterima lebih rendah daripada biaya pengurusan pajak tersebut. Oleh karena itu, sistem pemungutan pajak harus sederhana dan mudah untuk dilaksanakan. Dengan demikian, wajib pajak tidak akan mengalami kesulitan dalam mengalami pembayaran pajak, baik dari segi penghitungan maupun dari segi waktu.

5. Sistem Pemungutan Pajak Harus Sederhana
            Sistem yang sederhana memudahkan wajib pajak dalam menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan kesadaran dalam pembayaran pajak. Sebaliknya, jika sistem pemungutan pajak rumit, orang semakin enggan membayar pajak.

C. Sumber dalam Hukum Pajak
            Dalam setiap undang-undang paja, hukum materil dan hukum formal dapat berdampingan walaupun dalam undang-undang yang terpisah. Dalam ilmu hukum, sumber hukum dapat berbentuk tertulis ataupun tidak tertulis, meliputi berikut ini.

1. Sumber Hukum Materiil
            Sumber hukum materiil, yaitu faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum (hukum pajak), misalnya faktor-faktor yang berupa hubungan sosial, politik, ekonomi, ataupun hubungan internasional.
            Hukum pajak materiil adalah hukum pajak yang memuat ketentuan tentang pihak-pihak yang dikenakan pajak dan pihak-pihak yang dikecualikan dari pengenaan pajak, hal-hal yang dikenakan pajak, dan besarnya pajak yang harus dibayar. Dengan kata lain, dan pola hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak.

2. Sumber Hukum Formal
            Sumber hukum formal, yaitu sumber suatu peraturan hukum memperoleh kekuatan hukum atau cara yang menyebabkan peraturan hukum tersebut berlaku secara formal. Misalnya, peraturan perundang-undangan (asas pancasila, UUD 1945, dan lain-lain), traktat (tax treaty), yurisprudensi, dan doktrin.
            Hukum pajak formal adalah hukum yang memuat ketentuan tentang mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan. Dengan demikian, hukum pajak formal merupakan ketentuan yang mewujudkan hukum pajak materiil menjadi kenyataan.

3. Sumber Hukum Pajak yang Sifatnya Tertulis
            Sumber hukum pajak yang sifatnya tertulis, terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A
            sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, “segala pajak untuk keperluan negara harus berdasarkan undang-undang”. Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang melakukan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan pemerintah yang diatur dengan undang-undang.

b. Perjanjian Perpajakan
            Tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda dengan negara lain yang menyebabkan mudahnya terjadi pengenaan pajak ganda internasional sehingga menimbulkan beban yang tinggi terhadap wajib pajak. Untuk mengatasi hal tersebut, negara-negara yang berkepentingan mengadakan perjanjian penghindaran pajak internasional agar wajib pajak dari setiap negara yang bersangkutan tidak dikenakan pajak ganda. Selain itu, perjanjian perpajakan juga dapat mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyeludupan pajak (tax evasion).

c. Yurisprudensi Perpajakan
            Yurisprudensi perpajakan adalah putusan pengadilan mengenai perkara pajak, yang meliputi sengketa pajak dan tindak pidana yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Putusan pengadilan yang berkaitan dengan sengketa pajak adalah Putusan Pengadilan Pajak ataupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat para pihak yang bersengketa, sedangkan putusan pengadilan yang berkaitan dengan tindak pidana pajak adalah Putusan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum ataupun Mahkamah Agung yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d. Doktrin Perpajakan
            Agar doktrin dapat menjadi sumber hukum pajak, substansinya harus berada dalam konteks di bidang perpajakan yang dikemukakan ahli hukum pajak karena substansi hukum yang terkandung dalam hukum pajak memiliki perbedaan yang sangat prinsipiil dengan hukum lainnya.
            Pendapat ahli hukum pajak, untuk saat ini belum dapat diharapkan untuk menunjang pengembangan hukum pajak. Hal ini dikarenakan kelangkaan ahli hukum pajak yang dapat memberi corak tersendiri dalam perkembangan hukum pajak.

e. Sanksi Pajak
            Sanksi administrasi menurut UU KUP dibagi atas tiga macam, yaitu denda, bunga dan kenaikan. Denda dikenakan terhadap pelanggaran peraturan yang bersifat hukum publik. Dalam hal ini, sanksi administrasi dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akibat pelanggarannya pada umumnya tidak merugikan negara. Sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dikenakan terhadap wajib pajak yang membetulkan SPT, dikenakan SKPKB ( Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ), tidak melunasi utang pajak pada saat jatuh tempo, terlambat membayar SKPKB dan SKPKBT, mengangsur atau menunda pembayaran pajak serta menunda penyampaian SPT. Adapun sanksi administrasi berupa kenaikan (Kenaikan pajak atau tambahan pajak) dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perundang-undangan perpajakan, yang akibat pelanggaran itu negara dirugikan. Menurut Undang-Undang KUP tahun 2000, kenaikan adalah sanksi administrasi yang menaikan jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak dengan persentase antara 50-100% dari jumlah pajak yang tidak/kurang bayar.
           
D. Perkembangan Hukum Pajak
            Secara umum, pemungutan pajak yang teratur dan permanen telah dikenakan pada masa kolonial. Sekalipun demikian, pada masa kerajaan dahulu juga telah ada pungutan seperti pajak, yang dipersembahkan kepada raja sebagai wujud rasa hormat dan upeti kepada raja. Figur raja dalam hal ini dapat dipandang sebagai manifestasi dari kekuasaan tunggal kerajaan (negara). Pada awal kemerdekaan pernah dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar bagi pajak peredaran (barang), yang dalam tahun 1951 diganti dengan pajak penjualan (PPn) 1951. Pengenaan pajak secara sistematis dan permanen dimulai dengan pengenaan pajak terhadap tanah. Hal ini telah ada pada zaman kolonial. Shopar Lumbantoruan dalam bukunya Akuntansi Pajak, membagi perkembangan hukum pajak adalah sebagai berikut.

1. Hukum Pajak Landerent (Sewa Tanah)
            Pajak ini disebut landerent (sewa tanah) oleh Gubernur Jenderal Raffles dari Inggris. Pada masa penjajahan Belanda disebut landrente. Peraturan tentang landrente dikeluarkan pada tahun 1907 kemudian diubah dan ditambah dengan Ordonansi Landrente. Pada tahun 1932, dikeluarkan Ordonansi Pajak Kekayaan (PKk) yang beberapa kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1964.

2. Hukum Pajak Tanah
            Pada tahun 1960 dikeluarkan UU Nomor 5 tahun 1960 yang mengemukakan bahwa hukum atas tanah berlaku atas semua tanah di Indonesia, yang ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium Kabinet Tanggal 10 Februari tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967 dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah daerah.

3. Iuran Pembagunan Daerah (IPEDA)
            Pajak Hasil Bumi yang kemudian namanya diubah menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA) diatur berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara No. PM.PP 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari pajak Penghasilan sudah dilakukan pada zaman Romawi Kuno. Antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 Sebelum Masehi.

4. Berlakunya Asas Perpajakan Indonesia
            Sejak tahun 1983 telah berlaku Undang-Undang No. 6 tahun 1983, Undang-Undang NO. 7 tahun 1983 dan Undang-Undang No. 8 tahun 1983. Dalam Undang-Undang Perpajakan tahun 1983 berlaku asas perpajakan Indonesia, yaitu:
a. Asas kegotongroyongan nasional terhadap kewajiban kenegaraan, termasuk membayar pajak.
b. Asas keadilan, dalam pemungutan pajak, kewenanga yang dominan tidak lagi diberikan kepada aparat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang harus dibayar.
c. Asas kepastian hukum, wajib pajak diberikan ketentuan yang sederhana dan mudah dimengerti serta pelaksanaan administrasi pemungutan pajaknya tidak birokratis.
d. Asas kepercayaan penuh, masyarakat memberikan kepercayaan penuh untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, termasuk keaktifan pelaksanaan administrasi perpajakan.

            Dengan berlakunya Undang-Undang No. 6, 7, dan 8 tahun 1983, sistem perpajakan Indonesia secara mutlak manganut sistem self assesment dan kewenangan aparat pajak tidak lagi seluas kewenangan yang diperolehnya dalam Undang-Undang perpajakan yang lama.

Semoga bermanfaat untuk kita semua, mari budayakan gemar membayar pajak karena pajak itu dari kita untuk kita. Salam dari Bang Fadhil yeahhhhhh......!!!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar