Pajak
merupakan sumber keuangan bagi negara yang sangat besar, bahkan merupakan
penyokong utama dalam menggerakkan roda pemerintahan Indonesia. Untuk itu,
peran serta masyarakat dalam membayar pajak sangat diperlukan. Salah satu yang
memiliki peran agar pajak dapat dipungut pemerintah dengan baik dan efisien
adalah penetapan ketentuan perundangan yang mengatur tata cara perpajakan.
Ketentuan perpajakan ini harus memuat hal-hal yang dapat membuat wajib pajak
memiliki kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Pemerintah
juga harus mengupayakan agar pemungutan pajak serta pengelolaan hasil pajak
yang dihimpun dari masyarakat dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabilitas
yang baik dan transparan, sehingga terjadi keseimbangan. Penyelenggaraan
pemerintahan yang baik akan berpengaruh positif bagi wajib pajak untuk ikut
bertanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Ketentuan
perpajakan pun harus melihat berbagai aspek yang berkembang dalam masyarakat,
agar ketentuan perundangan yang ada dapat dijadikan pedoman bagi penyelenggara
pemerintahan ataupun wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya dalam
perpajakan. Untuk itu, suatu kejian terus-menerus dilakukan oleh penyelenggara
negara agar ketentuan atau Undang-undang yang dibuat dapat menjadi pedoman bagi
semua pihak, baik wajib pajak maupun penyelenggara negara.
A. Konsep Dasar Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
1. Definisi
Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan
undang-undang adalah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang
tercantum dalam Undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta ynag
dimaksud oleh pembuat Undang-undang.
Menurut Ridwan Halim (2005), penafsiran hukum adalah
suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik
dalam arti memperluas, membatasi, maupun mempersempit pengertian hukum yang ada
untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum
sangat penting karena isi Undang-Undang yang kadang-kadang tidak jelas susunan
katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu,
penafsiran hukum terhadap Undang-undang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
2. Metode
Penafsiran Hukum Perpajakan
Menurut Arip Budiman, peraturan perpajakan disusun
berdasarkan kekuatan hukumnya, yaitu sebagai berikut.
a. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal)
Penafsiran tata bahasa atau disebut juga penafsiran
objektif merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna
ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata,
atau bunyinya.
Ketentuan Undang-undang dijelaskan menurut bahasa
sehari-hari yang umum. Hal ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada
bunyi kata-kata dari Undang-undang. Penafsiran menurut bahsa juga harus logis.
Contohnya, KUH Pidana Pasal 372 kata “memiliki” dan
“menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mangandung sifat bermanfaat bagi
diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan, tetapi suatu
kasus perdata.
b. Penafsiran Sahih (Autentik atau Resmi)
Tafsiran autentik adalah penafsiran peraturan dengan
melihat maksud perumus Undang-undang atau peraturan tersebut. Dalam hal ini,
peraturan sudah memberikan definisi-definisi yang dijelaskna pada Pasal 1 yang
berkaitan dengan pengertian. Istilah-istilah tertentu dianggap penting sering
diberikan definisi secara khusus, namun dalam praktiknya tidak semua peraturan
menjelaskan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan tersebut.
Tafsiran yang ada di dalam memori penjelasan
Undang-undang yang dapat diperdebatkan di muka pengadilan. Demikian juga,
tafsiran yang dilakukan oleh fiskus ataupun wajib pajak tidak mengikat bagi
pihak lainnya.
Penafsiran secara resmi berasal dari pembentuk
undang-undang, bukan dari sudut pelaksana hukum, yakni hakim. Dalam penafsiran
ini, kebebasan hakim dibatasi.
c. Penafsiran Historis
Tafsiran historis adalah penafsiran Undnag-undang dengan
melihat pada kronologi atau sejarah dibuatnya Undang-undang tersebut dikaitkan
dengan perkembangan hukum secara umum atau masih ada hubungannya. Akan lebih
baik jika dalam menafsirkan secara historis diperoleh juga draft RUU, risalah
rapat para pembuat Undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal,
jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya.
Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, akan diketahui
latar belakang aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas yang
memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang secara tiba-tiba. Oleh karena
itu, suatu aturan perpajakan harus dpat dipahami sejarah perkembangannya hingga
saat ini.
d. Penafsiran Sistematis
Tafsiran sistematis adalah penafsiran peraturan
perpajakan dengan memerhatikan peraturan lain yang berkaitan dengan yang masih
berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri atas Undang-undang sampai dengan
keputusan Dirjen Pajak merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan secara
logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan
lainnya.
Oleh karena itu, pemahaman seorang fiskus atau wajib
pajak akan sangat ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan.
e. Penafsiran Teleologis atau Sosiologis
Penafsiran teleologis atau sosiologis merupakan
penafsiran berdasarkan maksud atau tujuan dibuatnya undang-undang tersebut. Hal
tersebut dikarenakan kebutuhan manusia semakin meningkat dan selalu berubah
menurut masanya, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah.
Contohnya di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan berasal dari
zaman kolonial sehingga untuk menjalankan peraturan tersebut, hakim harus
menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat ini.
F. Penafsiran Analogis
Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan
tafsiran pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut
sesuai dengan hukumnya. Dengan demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak
dimasukkan dianggap sesuai dengan peraturan tersebut. Tafsiran analogis, yaitu
penafsiran atas sesuatu peraturan dengan cara memperluas cakupan peraturan
tersebut ke permasalahan yang sejenis, setara, atau analog yang tidak ada
aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan bersifat ekstensif karena
akan memperluas arti suatu peraturan.
g. Penafsiran a Contrario
Penafsiran a
contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas
pengingkaran, artiya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan
soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan
pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak
termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan
perundang-undangan. Tafsiran a contrario dapat
diartikan juga sebagai penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan mendasarkan
pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu masalah yang belum diatur
dengan persoalan yang diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan.
3. Cara
Menerapkan Metode Penafsiran
Hal pertama dalam melaksanakan penafsiran peraturan
perundang-undangan adalah penafsiran gramatikal, karena untuk memahami teks
peraturan perundang-undangan, kita harus dimengerti lebih dahulu arti katanya.
Apabila perlu, dilanjutkan dengan penafsiran autentik atau penafsiran resmi
yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang. Kemudian, dilanjutkan dengan
penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran
teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif,
penafsiran analogis, dan penafsiran a
contrario.
B. Asas-asas dalam Penyusutan Hukum Pajak
Asas-asas di dalam penyusunan hukum pajak, terdiri atas
sebagai berikut.
1. Yuridis
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23
ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatukan keadilan, baik bagi
negara maupun warganya.
2. Ekonomis
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan
produksi ataupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian
masyarakat.
3. Finansial
Sesuai fungsi budgetair,
biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil
pemungutannya
C. Manfaat Penafsiran Hukum Pajak
Selain memiliki tujuan keadilan, hukum pajak juga
memiliki berbagai fungsi yang berdasarkan asas-asas ynag bertujuan
menyejahterakan penduduknya. Manfaat penafsiran kegunaan hukum pajak, yaitu
sebagai berikut.
1. Sebagai acuan dalam
menciptakan sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat keadilan,
efisien, dan sederhana dalam undang-undang hukum pajak.
2. Sebagai sumber yang
menerangkan tentang subjek ataupun objek yang perlu dan tidak perl dijadikan
sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di
negara ini. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban
pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan tiap-tiap orang.
3. Sebagai penjelas
tentang penggunaan/pemanfaatan dai hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi
anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan
digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum.
4. Hukum pajak juga
memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi
ataupun sanksi tata usaha, sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan.
izin copy paste
BalasHapussaya juga
BalasHapus