Sabtu, 10 Juni 2017

Penafsiran Hukum Pajak


Pajak merupakan sumber keuangan bagi negara yang sangat besar, bahkan merupakan penyokong utama dalam menggerakkan roda pemerintahan Indonesia. Untuk itu, peran serta masyarakat dalam membayar pajak sangat diperlukan. Salah satu yang memiliki peran agar pajak dapat dipungut pemerintah dengan baik dan efisien adalah penetapan ketentuan perundangan yang mengatur tata cara perpajakan. Ketentuan perpajakan ini harus memuat hal-hal yang dapat membuat wajib pajak memiliki kesadaran yang tinggi untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Pemerintah juga harus mengupayakan agar pemungutan pajak serta pengelolaan hasil pajak yang dihimpun dari masyarakat dilakukan secara bertanggung jawab, akuntabilitas yang baik dan transparan, sehingga terjadi keseimbangan. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik akan berpengaruh positif bagi wajib pajak untuk ikut bertanggung jawab dalam melaksanakan hak dan kewajibannya.
Ketentuan perpajakan pun harus melihat berbagai aspek yang berkembang dalam masyarakat, agar ketentuan perundangan yang ada dapat dijadikan pedoman bagi penyelenggara pemerintahan ataupun wajib pajak dalam menjalankan hak dan kewajibannya dalam perpajakan. Untuk itu, suatu kejian terus-menerus dilakukan oleh penyelenggara negara agar ketentuan atau Undang-undang yang dibuat dapat menjadi pedoman bagi semua pihak, baik wajib pajak maupun penyelenggara negara.

A. Konsep Dasar Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
1. Definisi Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)
            Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-undang adalah mencari dan menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam Undang-undang sesuai dengan yang dikehendaki serta ynag dimaksud oleh pembuat Undang-undang.
            Menurut Ridwan Halim (2005), penafsiran hukum adalah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas, membatasi, maupun mempersempit pengertian hukum yang ada untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.
            Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting karena isi Undang-Undang yang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap Undang-undang merupakan suatu hal yang perlu dilakukan.
2. Metode Penafsiran Hukum Perpajakan
            Menurut Arip Budiman, peraturan perpajakan disusun berdasarkan kekuatan hukumnya, yaitu sebagai berikut.

a. Penafsiran Tata Bahasa (Gramatikal)
            Penafsiran tata bahasa atau disebut juga penafsiran objektif merupakan cara penafsiran yang paling sederhana untuk mengetahui makna ketentuan Undang-undang dengan menguraikannya menurut bahasa, susunan kata, atau bunyinya.
            Ketentuan Undang-undang dijelaskan menurut bahasa sehari-hari yang umum. Hal ini tidak berarti bahwa hakim terikat erat pada bunyi kata-kata dari Undang-undang. Penafsiran menurut bahsa juga harus logis.
            Contohnya, KUH Pidana Pasal 372 kata “memiliki” dan “menggelapkan” dalam pasal 372 tidak selalu mangandung sifat bermanfaat bagi diri pribadi. Perbuatan terdakwa tidak merupakan penggelapan, tetapi suatu kasus perdata.

b. Penafsiran Sahih (Autentik atau Resmi)
            Tafsiran autentik adalah penafsiran peraturan dengan melihat maksud perumus Undang-undang atau peraturan tersebut. Dalam hal ini, peraturan sudah memberikan definisi-definisi yang dijelaskna pada Pasal 1 yang berkaitan dengan pengertian. Istilah-istilah tertentu dianggap penting sering diberikan definisi secara khusus, namun dalam praktiknya tidak semua peraturan menjelaskan mengenai istilah-istilah yang digunakan dalam peraturan tersebut.
            Tafsiran yang ada di dalam memori penjelasan Undang-undang yang dapat diperdebatkan di muka pengadilan. Demikian juga, tafsiran yang dilakukan oleh fiskus ataupun wajib pajak tidak mengikat bagi pihak lainnya.
            Penafsiran secara resmi berasal dari pembentuk undang-undang, bukan dari sudut pelaksana hukum, yakni hakim. Dalam penafsiran ini, kebebasan hakim dibatasi.

c. Penafsiran Historis
            Tafsiran historis adalah penafsiran Undnag-undang dengan melihat pada kronologi atau sejarah dibuatnya Undang-undang tersebut dikaitkan dengan perkembangan hukum secara umum atau masih ada hubungannya. Akan lebih baik jika dalam menafsirkan secara historis diperoleh juga draft RUU, risalah rapat para pembuat Undang-undang, memori penjelasan umum dan pasal per pasal, jawaban pemerintah kepada DPR, notulen sidang komisi, dan sebagainya.
            Dengan memahami dokumen-dokumen tersebut, akan diketahui latar belakang aturan perpajakan. Hukum pajak memiliki kontinuitas yang memiliki sejarah perkembangannya dan tidak datang secara tiba-tiba. Oleh karena itu, suatu aturan perpajakan harus dpat dipahami sejarah perkembangannya hingga saat ini.

d. Penafsiran Sistematis
            Tafsiran sistematis adalah penafsiran peraturan perpajakan dengan memerhatikan peraturan lain yang berkaitan dengan yang masih berhubungan. Hukum perpajakan yang terdiri atas Undang-undang sampai dengan keputusan Dirjen Pajak merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan secara logis sehingga penafsirannya harus dikaitkan antara peraturan yang satu dengan lainnya.
            Oleh karena itu, pemahaman seorang fiskus atau wajib pajak akan sangat ditentukan oleh penguasaannya di bidang perpajakan.

e. Penafsiran Teleologis atau Sosiologis
            Penafsiran teleologis atau sosiologis merupakan penafsiran berdasarkan maksud atau tujuan dibuatnya undang-undang tersebut. Hal tersebut dikarenakan kebutuhan manusia semakin meningkat dan selalu berubah menurut masanya, sedangkan bunyi undang-undang tetap dan tidak berubah. Contohnya di Indonesia masih banyak peraturan yang berlaku dan berasal dari zaman kolonial sehingga untuk menjalankan peraturan tersebut, hakim harus menyesuaikan dengan keadaan masyarakat pada saat ini.

F. Penafsiran Analogis
            Penafsiran analogis merupakan penafsiran yang memberikan tafsiran pada peraturan hukum dengan mengibaratkan pada kata-kata tersebut sesuai dengan hukumnya. Dengan demikian, suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dimasukkan dianggap sesuai dengan peraturan tersebut. Tafsiran analogis, yaitu penafsiran atas sesuatu peraturan dengan cara memperluas cakupan peraturan tersebut ke permasalahan yang sejenis, setara, atau analog yang tidak ada aturannya secara spesifik. Penafsiran cara ini akan bersifat ekstensif karena akan memperluas arti suatu peraturan.

g. Penafsiran a Contrario
            Penafsiran a contrario adalah penafsiran undang-undang yang didasarkan atas pengingkaran, artiya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur dalam suatu pasal dalam undang-undang. Berdasarkan pengingkaran ini ditarik kesimpulan bahwa masalah perkara yang dihadapi tidak termasuk pasal yang dimaksud, masalahnya berada di luar peraturan perundang-undangan. Tafsiran a contrario dapat diartikan juga sebagai penafsiran suatu peraturan perpajakan dengan mendasarkan pada kebalikan atau perlawanan pengertian suatu masalah yang belum diatur dengan persoalan yang diatur secara tegas dalam ketentuan perpajakan.

3. Cara Menerapkan Metode Penafsiran
            Hal pertama dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan adalah penafsiran gramatikal, karena untuk memahami teks peraturan perundang-undangan, kita harus dimengerti lebih dahulu arti katanya. Apabila perlu, dilanjutkan dengan penafsiran autentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang. Kemudian, dilanjutkan dengan penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran nasional, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif, penafsiran analogis, dan penafsiran a contrario.

B. Asas-asas dalam Penyusutan Hukum Pajak
            Asas-asas di dalam penyusunan hukum pajak, terdiri atas sebagai berikut.

1. Yuridis
            Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatukan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

2. Ekonomis
            Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi ataupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

3. Finansial
            Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya

C. Manfaat Penafsiran Hukum Pajak
            Selain memiliki tujuan keadilan, hukum pajak juga memiliki berbagai fungsi yang berdasarkan asas-asas ynag bertujuan menyejahterakan penduduknya. Manfaat penafsiran kegunaan hukum pajak, yaitu sebagai berikut.

1. Sebagai acuan dalam menciptakan sistem pemungutan pajak yang harus memenuhi syarat keadilan, efisien, dan sederhana dalam undang-undang hukum pajak.

2. Sebagai sumber yang menerangkan tentang subjek ataupun objek yang perlu dan tidak perl dijadikan sumber pemungutan pajak yang berfungsi untuk meningkatkan potensi pajak di negara ini. Adapun hukum pajak berfungsi sebagai acuan dalam pembagian beban pajak kepada rakyat yang didasarkan pada kepentingan tiap-tiap orang.

3. Sebagai penjelas tentang penggunaan/pemanfaatan dai hasil pemungutan pajak, baik dalam memenuhi anggaran APBN serta APBD maupun memenuhi target perolehan pajak yang akan digunakan untuk kepentingan sosial dan kesejahteraan umum.

4. Hukum pajak juga memiliki fungsi dalam menetapkan kepastian yang berupa sanksi administrasi ataupun sanksi tata usaha, sanksi pidana berupa penjara ataupun kurungan.

2 komentar: